Model Ideal Pengembalian Aset (Asset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi - Lilik Mulyadi
Rp. 90.000
PENERBIT : KENCANA
PENULIS : LILIK MULYADI
HALAMAN : 298 hlm
SINOPSIS
"Pada hakikatnya paradigma tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime), bersifat primum remedium dan kejahatan yang paling serius (the most serious crime), serta adanya tiga karakteristik penanganan tindak pidana korupsi melalui pendekatan follow the suspect yaitu pola penanganan tindak pidana korupsi ditujukan perbuatan pelaku kejahatan, pendekatan follow the money and follow the asset yaitu penanganan tindak pidana korupsi dengan prioritas hasil kejahatan, dan gabungan follow the suspect dan follow the money and follow the asset.
Dalam konteks penanganan tindak pidana hakikatnya berpuncak pada “pemidanaan” atau “pemberian pidana” (sentencing/straftoemeting). Akan tetapi, aspek ini tidak banyak disinggung dalam pelajaran hukum pidana, dan dapat diibaratkan sebagai “anak tiri dari hukum pidana”. Pada tindak pidana korupsi selain berpuncak pada pemidanaan, juga bagaimana aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dikembalikan kepada negara. Urgensi pengembalian aset perlu diketengahkan sesuai dengan filosofi naturae aequum est, neminem cum alterius detrimento et injuria, fieri locupletiorem. Filosofi tersebut bermakna bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memperkaya di atas kerugian dan penderitaan orang lain. Filosofi tersebut menjadi sumber prinsip unjust enrichment yang mengalir dalam perkembangan zaman menjadi doktrin crime doesn’t pay atau crime shall not pay sebagai ungkapan perlawanan terhadap pelaku tindak pidana agar tidak dapat menikmati hasil tindak pidana atau hasil kejahatan yang dilakukannya, sehingga tidak ada negara aman untuk melakukan tindak pidana korupsi atau tempat untuk menyembunyikan aset atau harta dari perbuatan tindak pidana korupsi.
Model ideal pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi ke depan sesuai dengan kultur, filosofi, dan jiwa pluralistik masyarakat Indonesia hendaknya dilakukan melalui 5 (lima) perspektif. Pertama, rekonstruksi regulasi terkait Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan pembuatan regulasi Undang-Undang Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Kedua, modifikasi penerapan konsep plea bargaining system sesuai kultur dan filosofis Indonesia. Ketiga, penerapan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (Balanced Propability Principles). Keempat, penerapan Non Conviction-Based Asset Forteiture (NCB-Asset Forfeiture). Kelima, penguatan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan sinergitas koordinasi antarlembaga penegak hukum dalam pengembalian aset tindak pidana korupsi."
PENULIS : LILIK MULYADI
HALAMAN : 298 hlm
SINOPSIS
"Pada hakikatnya paradigma tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime), bersifat primum remedium dan kejahatan yang paling serius (the most serious crime), serta adanya tiga karakteristik penanganan tindak pidana korupsi melalui pendekatan follow the suspect yaitu pola penanganan tindak pidana korupsi ditujukan perbuatan pelaku kejahatan, pendekatan follow the money and follow the asset yaitu penanganan tindak pidana korupsi dengan prioritas hasil kejahatan, dan gabungan follow the suspect dan follow the money and follow the asset.
Dalam konteks penanganan tindak pidana hakikatnya berpuncak pada “pemidanaan” atau “pemberian pidana” (sentencing/straftoemeting). Akan tetapi, aspek ini tidak banyak disinggung dalam pelajaran hukum pidana, dan dapat diibaratkan sebagai “anak tiri dari hukum pidana”. Pada tindak pidana korupsi selain berpuncak pada pemidanaan, juga bagaimana aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dikembalikan kepada negara. Urgensi pengembalian aset perlu diketengahkan sesuai dengan filosofi naturae aequum est, neminem cum alterius detrimento et injuria, fieri locupletiorem. Filosofi tersebut bermakna bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memperkaya di atas kerugian dan penderitaan orang lain. Filosofi tersebut menjadi sumber prinsip unjust enrichment yang mengalir dalam perkembangan zaman menjadi doktrin crime doesn’t pay atau crime shall not pay sebagai ungkapan perlawanan terhadap pelaku tindak pidana agar tidak dapat menikmati hasil tindak pidana atau hasil kejahatan yang dilakukannya, sehingga tidak ada negara aman untuk melakukan tindak pidana korupsi atau tempat untuk menyembunyikan aset atau harta dari perbuatan tindak pidana korupsi.
Model ideal pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi ke depan sesuai dengan kultur, filosofi, dan jiwa pluralistik masyarakat Indonesia hendaknya dilakukan melalui 5 (lima) perspektif. Pertama, rekonstruksi regulasi terkait Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan pembuatan regulasi Undang-Undang Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Kedua, modifikasi penerapan konsep plea bargaining system sesuai kultur dan filosofis Indonesia. Ketiga, penerapan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (Balanced Propability Principles). Keempat, penerapan Non Conviction-Based Asset Forteiture (NCB-Asset Forfeiture). Kelima, penguatan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan sinergitas koordinasi antarlembaga penegak hukum dalam pengembalian aset tindak pidana korupsi."